Selasa, 01 November 2011

BEKAL PERJALANAN MENUJU AKHIRAT (Korelasi Antara Dakwah dan Sabar)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya Al Utsul at Tsalatsa, menyebutkan sebuah ayat,  “Demi masa Sesungguhnya setiap manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, melakukan segala  amal shaleh dan saling nasehat-menasehati untuk (menegakkan) yang haq serta nasehat-menasehati untuk (berlaku) sabar“ (QS. Al-‘Ashr : 1-3). Kemudian berkata, ketahuilah, bahwa wajib bagi kita sebagai muslim untuk mendalami empat perkara, yaitu : Menuntut ilmu terutama ilmu syar’i, mengamalkan ilmu itu, kemudian mengajarkan ilmu itu dan terakhir bersabar atas semua hal yang merintangai perjalanan menuju ketiga hal diatas.


Dalam tulisan saya terdahulu, telah saya bahas berkaitan dengan wajibnya setiap muslim untuk menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu tersebut. Pada pembahasan yang kedua ini, saya akan membahas berkaitan kewajiban muslim untuk berdakwah dan bersabar.

Dakwah, Wujud dari Perjuangan dan Kepedulian

Da’wah adalah mengajak orang lain kepada ilmu itu. Namun, dalam berda’wah kita dilarang memaksa, apalagi dengan ancaman. Islam adalah dien penyelamat, pemberi kabar gembira, santun, lemah-lembut, tapi tegas. Ingat tegas, bukan keras, karena keduanya sangat berbeda. Keras adalah identik dengan perbuatan yang kejam, sedang tegas adalah suatu sikap / pendirian yang kuat dalam memegang prinsip atau ajaran. Karena Islam memiliki syari’at atau aturan yang pasti. Ibnu Abbas berkata, jadilah kalian semua rabbaniyin yang murah hati lagi faham ilmu. Rabbaniyin adalah orang yang mengajarkan manusia dasar-dasar ilmu sebelum masalah yang lebih besar dengan berlemah-lembut dan tidak mudah putus asa.

Tentang ancaman bagi orang yang enggan berdakwah ini Rosululloh bersabda, “Tidak ada seorang pun yang mempunyai ilmu, sedang ia menyembunyikannya, kecuali pada hari Kiamat ia datang dalam keadaan terbelenggu dengan belenggu dari neraka“ (Shahih At-Targhib(1/160). Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rosululloh berkata, “Perumpamaan orang yang menuntut ilmu dan tidak menyampaikannya adalah bagaikan orang yang memiliki harta, tapi enggan menginfa’kannya“ (Diriwayatkan At-Tabrani, Al-Ausath, dan dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah As-Shahihah  no. 3479, At-Targhib, no. 122  dan Shahih Al-Jami’    hadits no. 5835).

Al-Manawi berkata dalam kitabnya Faidhul Qadiir, “perumpamaan seseorang yang mempelajari ilmu dan tidak menyampaikannya seperti orang yang menumpuk harta dan enggan untuk berinfa’.  Keduanya sama-sama akan menyebabkan petaka pada dirinya dengan diadzab pada hari kiamat. Maka, sudah menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang yang berilmu mencurahkan ilmunya pada orang-orang yang berhak untuk  mendapatkannya untuk mendapat ridho Alloh dan janganlah ia merasa lebih dari orang-orang yang berada disekitarnya. Akan tetapi, hendaklah ia melihat keutamaan yang ada karena telah menyiapkan hati dalam rangka mendekatkan hati kepada Alloh. Hati sebagai lahan yang akan disemai benih-benih ilmu, seumpama orang yang menyiapkan lahan subur untuk menanam sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya. Kalaulah tidak karena para pelajar, seorang guru tidak akan berarti”.

Kemudian Dr. ‘Aidh Al-Qarni dalam kitabnya Kaifa Tathlubu’l-‘ilm, menyebutkan satu hadits tentang ancaman bagi orang yang berdakwah tapi hanya di lisan yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, bahwa Rosululloh bersabda, “Seseorang akan didatangkan pada hari kiamat, lalu dicampakkan kedalam neraka. Maka, berurailah isi perutnya dan ia berputar-putar di neraka seperti keledai yang berputar mengelilingi penggilingan. Para penghuni neraka berkumpul di sekelilingnya seraya berkata, ‘ Wahai Fulan, apa yang terjadi padamu? Bukankah engkau yang dulu memerintahkan pada yang makruf  dan mencegah dari yang munkar?’ Maka, ia menjawab, ‘ Benar, dahulu aku memerintahkan pada yang makruf  tapi tidak aku kerjakan dan aku melarang dari yang munkar tapi justru aku kerjakan“ (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2989, Kitabu’z-Zuhd, Bab ‘Uqubatu Man Ya’mur bi’l-Ma’ruf wa la Yaf’aluhu). Gambaran inilah yang membuat tubuh gemetar dan disebutkan sebagai hukuman bagi orang yang tidak mengamalkan ilmu yang diberikan Alloh kepadanya, sebagaimana yang tertera dalam hadits di atas. Ia merasa sudah cukup dengan memerintah dan melarang orang-orang, tetapi membiarkan dirinya bergelimangan kemaksiatan ketika mereka tidak melihatnya. Namun, tidak ada sesuatu pun yang luput dari Alloh. Alloh akan menutupi keburukannya ketika didunia sehingga manusia menyangkanya sebagai orang baik, namun kelak di hari kiamat keburukannya akan terbongkar dihadapan semua makhluk… na’udzubillah.

Termasuk kewajiban da’wah adalah nasehat-menasehati atau mengingatkan saudara kita yang bermaksiat, juga saudara-saudara yang terkena fitnah atau memiliki persepsi keluar dari syari’at. Maka kita harus meluruskan fitnah tersebut langsung pada pihak yang bersangkutan, hal seperti ini disebut dengan tabayun.

Dalam bertabayun kita tidak boleh memojokkan atau secara serta-merta menuduhnya salah, tapi berilah dia kesempatan untuk menjelaskan semampunya, janganlah kita potong pembicaraannya hingga tuntas dan kita dengarkan dengan penuh antusias serta hendaklah kita nilai dengan bijak pendapatnya. Siapa tahu dia benar, maka kita harus akui kebenarannya, kita dukung dan kita bantu luruskan fitnah ini dengan memberi penjelasan kepada masyarakat dengan santun. Tapi jika ternyata kita    nilai berdasarkan syari’at ada yang kurang tepat, maka cobalah kita ajak saudara kita itu berfikir dengan dalil-dalil dan keterangan yang kita ajukan, kita jelaskan secara tenang dan muka yang berseri, sehingga keadaan tidak memanas. Sedapat mungkin jauhkan dari sikap emosi karena hal ini akan menimbulkan akhir yang tidak baik. Jika dengan penjelasan ini masih belum bisa, maka hentikan dan alihkan pembicaraan pada masalah lain dan lanjutkan lagi pada hari-hari lain dengan teming yang tepat. Jika masih tidak bisa maka tidak perlu kita paksa karena memang hidayah itu milik Alloh, kita hanya wajib menyampaikan. Setidaknya dia akan berfikir atau merenungkan penjelasan kita.

Hal demikian juga berlaku bagi kita, sebagai manusia kita pasti memiliki kesalahan. Maka, kita harus siap untuk dikritik, kita harus menghargai kritikan dari saudara kita dalam bentuk apapun. Kita tidak boleh serta-merta langsung menyangkal dengan memutus pembicaraan yang disampaikan pada kita. Alangkah baiknya jika kita dengarkan dulu sampai kritikan tuntas, kita renungkan, siapa tahu memang benar apa yang dikatakannya. Jika benar, maka ucapkan terima kasih padanya dan mintalah maaf padanya, kemudian berusahalah untuk mengubah pribadimu menjadi lebih baik. Tapi, jika yang disampaikan itu salah, maka jelaskan secara baik-baik dengan aragumen yang tepat, syukur-syukur bisa meyakinkan, ingat jangan emosi dan tetaplah dengan muka berseri (senyum). Jika masih tidak bisa, ya sudah ambil saja pelajaran dan bersikaplah lebih baik. Karena sesungguhnya kritik seseorang kepada kita itu (yang tidak bertujuan untuk memojokkan kita) wujud dari perhatian dan kasih sayangnya kepada kita. Sebagaimana Alloh menyayangi kita, maka akan senantisa diuji, “Sesungguhnya jika Alloh mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka“ (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Sejenak saya teringat dengan masalah kritikan. Dulu ketika saya menjadi Mudir di sebuah Sekolah Pendidikan Al-Qur’an, pernah ada seorang teman yang mengajukan kritikan pada saya atas suatu masalah. Serta merta saya mengadakan pembelaan, kemudian kami berdebat panjang dan panas, hingga akhirnya sang teman berkata pada saya,  “ Ya sudahlah kalau kamu tidak terima dengan kritikan itu, tapi ingat besuk-besuk lagi tidak akan ada yang mengingatkanmu karena sikapmu itu “.

Kemudian di akhir pertemuan kami, seorang penasehat berkata pada saya,      “Kritikan atau masukan itu ibarat pemberitahuan, istilahnya ada seseorang yang memberi tahumu kalau dibelakangmu ada ular yang hendak mematukmu, tapi kamu malah marah dan memaki-maki temanmu hingga akhirnya kamu pukul temanmu, lalu apa yang terjadi…?? temanmu pun pingsan dan kamu pun dipatuk ular itu, maka binasalah dirimu. Andai kamu masih hidup, maka temanmu tadi tidak akan peduli lagi padamu…dan itulah kebinasaan yang sebenarnya“… Naudzubillah. Seketika saya pun terdiam dan menyesali hal itu. Ya semoga kita termasuk orang-orang yang dapat mengambil pelajaran dalam setiap peristiwa.
Saya teringat perkataan Amru Khalid dalam kitabnya Ash-shabru wadz-zaud, ketika menjelaskan tentang hikmah sebuah musibah, “Sesungguhnya orang yang berakal cukup dengan isyarat sebagai pelajaran“…  Subhanallah, semoga hati kita sepeka itu.

Sabar Puncak Kesuksesan Sejati

Sabar adalah tabah dan tangguh menghadapi segala rintangan dalam menuntut ilmu, mengamalkannya dan berda’wah kepadanya demi mengharapkan ridho Alloh semata.    Satu hal yang perlu kita pegang adalah janji-Nya, “Katakanlah, ‘Hai, hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu’. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Alloh itu luas. Sesungguhnya, hanya orang-orang bersabarlah yang akan dicukupkan pahalanya tanpa batas “. ( QS. Az-Zumar (39) : 10). Dalam ayat lain, “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmu-lah hendaknya kamu berharap“. (QS. Alam-Nasyrah (94) : 6-8). Maka mari kita belajar menjadi orang yang bersabar.

Dari jabaran di atas tentang kewajiban sebagai seorang muslim, berikutnya disebutkan satu hadits dari Abu Musa Al-Asy’ary, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “ Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku diutus oleh Alloh dengannya adalah seperti hujan deras yang mengenai tanah. Di antara tanah itu ada yang subur yang akan menyerap air dan menumbuhkan rerumputan yang sangat banyak. Ada juga tanah yang keras (tidak subur) yang bisa menampung air, lalu Alloh menjadikannya bermanfaat bagi manusia sehingga mereka bisa minum, menyirami tanaman dan bercocok tanam. Ada pula kelompok lain yang seperti tanah tandus yang tidak bisa menampung air dan tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Itulah perumpamaan orang yang mempelajari dien Alloh, di mana petunjuk yang aku bawa akan bermanfaat baginya, lalu ia berilmu dan mengajarkannya. Juga,  perumpamaan orang yang tidak pernah mengangkat kepalanya untuk itu serta orang yang tidak mau menerima petunjuk Alloh yang aku bawa“ (Shohihu’l-Bukhori, Kitabu’l-‘Ilmi, Bab : Fadhlu Man ‘Alima wa ‘Allama (1/28).

Karena sulitnya menjaga, niat dalam mencari ilmu, menjaganya, kemudian mengamalkan, berda’wah dan bersabar, maka Rosululloh menyuruh kita untuk senantiasa berdo’a pada Alloh. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam, bahwasanya Rosululloh SAW berdo’a, “Ya Alloh, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak pernah khusyu’, nafsu yang tidak pernah kenyang, dan do’a yang tidak pernah dikabulkan“ (Diriwayatkan Muslim, Kitab Az-Dzikir wa Ad-Du’a, no. 2722 ; At-Tirmidzi, Bab “Ad-Da’awat“ ; dan An-Nasa’i, Al-Mujtaba, (8/255).


Kramat Jati, 18 Desember 2010
Pukul 14.10 Wib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar